Refleksi “Lek Salim” Menjelang 1 Abad Zelfbestuur Kemerdekaan Indonesia
Lek Salim… sang lugu dari Dukuh Girirembang… Sosok manusia desa dengan rejeki pas-pasan… Sedang mencari makna keikhlasan dan ketundukan pada Tuhan menjelang Hari Raya Idul Fitri… Mencarilah sang lugu ke sekeliling desa… Tak puas dengan desa…
Mencarilah dia ke kota yang katanya tempat segala sesuatu ada… Termasuk mencari ketundukan dan khusyu’nya ibadah…
Di tengah kota dia lihat spanduk bertajuk… Mendekat Kepada Tuhan Lewat Ibadah… atau… Mencapai Ibadah Lewat Khusyu’ Mencari eksistensi dan kekayaan serta spiritualitas melalui Tuhan…
Setelah sang lugu mendekat spanduk… Tak kuasa dia menahan tangis… Seketika itu juga dia kangen suasana desa… Tanpa uang dan tanpa harta… Tetapi setiap Kehadiran Menuju Kesadaran Ketuhanan…Hanya perlu dibayar dengan keikhlasan guru dan murid
Lek Salim pulang ke kampungnya, dia mulai banyak merenung… Introspeksi dan menelusuri ruang tarikh Rasul… Dia yakin seyakin-yakinnya berhala itu bukan sekedar patung… Berhala itu substansi dan patung adalah materialisasinya. Berhala itu ya keserakahan kekayaan, kekuasaan, politik, ekonomi, sosial, hukum, dan semuanya
Berhala itu ketika semuanya dijadikan desain transaksional yang menjadikan setiap orang sombong dan merasa penting… dan dengan demikian setiap lokalitas adalah pinggiran dan ibukota yang penuh gemerlap, adalah pusat kekuasaan – uang – komersialisasi bahkan pencitraan sekaligus pusat kepentingan.
Gemerlap diperlukan untuk mencitrakan diri menjadi tokoh sentral penuh basa-basi di manapun, apalagi di layar kaca yang dapat menipu siapapun di seluruh lini negeri dengan busa-busa Islam dan Kebaikan
Maka di situlah peran kuasa dan uang, manusia tak lagi menyembah berhala, bahkan bak Firaun menyebut dirinya Tuhan, mendekonstruksi institusi, maka suara masyarakat tersedot menjadi simbol-simbol kekuasaan, dan para penguasa telah berhasil mengelabui rakyatnya untuk merengkuh kekuatan sosial politik untuk perluasan kuasa dan mengakumulasinya melampaui besarnya dunia ini…
Maka akulah sang penguasa dunia atas nama Islam, Islam hanyalah mainanku
Apabila perlu bernegosiasi dengan siapapun, Dajjal sekalipun, asal akulah pusat dunia…
Maka lembaga-lembaga harus kukuasai, maka akulah pusat politik Mekkahnya Indonesia – JAKARTA
Lek Salim berfikir keras, mengapa Rasulullah dari Mekkah menuju Madinah meninggalkan kekayaan dan gemerlap kuasa atas segala sesuatu atas nama keturunan Quraisy menuju Aqabah 1 & 2?
Iya ya Rasulullah itu kaya sebelum jadi rasul dan menyerahkan seluruh kekayaan untuk perjuangan menegakkan Izzul Islam wal Muslimin, malahan ketika di Madinah Rasulullah yang sudah jadi Rasul dan bukan lagi pedagang, rumahnya hanya sepetak dan dibatasi selembar kain tipis sebagai pintu masuk ke Masjid Nabawi… Ah itu kan Rasul, aku melebihi Rasul, maka rumahku, kantorku, pusat kekuasaanku adalah kemewahan dan keindahan dunia itu… Emang Gue Pikirin… Astaghfirullahaladzim, jadi ya Allah manakah simbol berhala sebenarnya?
Lek Salim kembali menangis tersedu-sedu, tak kuasa dia menahan kesedihan, sembari berujar: Ya Allah mengapa Engkau turunkan aku di masa ketika segala sesuatu tak lagi dapat ditembus dengan kebaikan yang penuh kejujuran, apakah memang aku harus melakukan proses profetik sebagaimana Rasulullah mengajak para sahabat meninggalkan kemewahan dunia menuju kesengsaraan untuk menjemput Kebahagiaan Hakiki?
Lek Salim melaju ke sejarah negeri, iya ya kalau dulu Jang Oetama, Pak Tjokro bersama para sahabat Agus Salim, Abdul Muis, Wahab Chasbullah, Ahmad Dahlan, serta dengan para muridnya Soekarno, HAMKA, Kartosuwiryo dan tak terbilang lagi banyaknya…
Mereka rela meninggalkan status sosial, kekayaan, dan riba dunia, berikhtiar mendesain organisasi dan modernitas dalam meraih kekuasaan sosial politik ekonomi budaya hukum untuk kepentingan Izzul Islam wal Muslimin.
Mereka rela difitnah, “terbuang” umurnya dalam penjara, dan tidak meninggalkan jalan perjuangan bagi umat walau berat kondisi fisik dan psikis
Nah, apakah aku sekarang yakin begitu, atau, memang benar Allah menjanjikan kita bahwa Islam hanyalah alat untuk kepentingan kekuasaan segala sesuatu di negeri ini? Ikhlaskah kita menipu anak bangsa? Ikhlaskah kita menipu Tuhan?
Lek Salim, engkau tak boleh pasrah, harus mencari jalan “baru” Allah Maha Besar, Allah Maha Mendengar, semoga…
Aji Dedi Mulawarman
Ketua Dewan Pengurus Pusat Yayasan Rumah Peneleh
Comments
No comment yet.