Jang Oetama 2016 – Palopo
Perjalanan Membangkitkan Kesadaran Peneleh Bergerak 14-16 April 2016
Oleh: Aji Dedi Mulawarman
Setelah lama tidak keliling negeri mengabarkan nilai-nilai kejuangan, kebangsaan, religiositas dan nasionalisme dari marhum Pak Tjokro (HOS Tjokroaminoto) secara serius seperti telah dilakukan di 28 kota sepanjang tahun 2015 kemarin, kecuali agenda dadakan bersama mahasiswa Universitas Jember Maret 2016, bersamaan rakorwil Fordebi Jawa Timur di Universitas Jember. Undangan ke Palopo tanggal 15-16 April 2016 telah membuka kembali agenda perjalanan bersama Rumah Peneleh. Kegiatan Diskusi Publik Peneleh di jakarta pada hari yang sama, dari perspektif Perlawanan Tjoet Njak Dhien dilaksanakan dengan menghadirkan Dr. Ari Kamayanti dosen, dr. Ana dokter spesialis neurologi, dan bu Chairi Inayah ketua Departemen Wanita DPP SII.
Perjalanan ke Palopo bila dilihat dari rentang ruang dan waktu memang agak keren bila dimulai dari titik awal Singosari, Malang, Jawa Timur tempat tinggalku. Kegiatan ini muncul atas ide dan semangat mas Andi Karman dosen UNCP, setelah beliau mendapat buku Jang Oetama pertengahan tahun 2015 dari mas Kasman di makassar. Lewat upaya yang dijembatani bu Risma Sudirman, dosen STIE Muhammadiyah Palopo, kebetulan sedang menempuh program doktor akuntansi di UB, pertemuan saya dengan mas Andi Karman terjadi di gedung pasca FEB UB. Mas Andi Karman menyampaikan keinginan mengenalkan sosok Pak Tjokro di UNCP, Setelah beliau mendapat buku Jang Oetama pertengahan tahun 2015 dari mas Kasman.
Acara tanggal 15-16 april 2016. kegiatan pertama, diskusi buku dengan para mahasiswa uncp tanggal 15 sore di kampus 3, sedangkan kegiatan kedua diskusi publik tanggal 16 pagi di kampus 1. Acara dadakan temu ilmiah membincang Ekonomi Islam dilaksanakan tgl 16 sore di FEBI IAIN Palopo, yang muncul karena semangat dosen IAIN, yang juga kawan lama di mpo, mas Amir Faqih. Pertemuan (lagi) kami (setelah belasan tahun tidak bersua) sebenarnya difasilitasi facebook, dan berkat komunikasi kangen2an itulah kami akhirnya bisa bincang2 di palopo meski tidak bisa lama.
Perjalanan Singosari sore jam 15.00 menuju Surabaya ditempuh dengan jalan darat lebih kurang dua jam. Surabaya ke Makassar menggunakan pesawat udara. Sesampai di Makassar sekitar jam 21.30, aku dijemput Mas Andi Karman menggunakan mobil keluar bandara menuju terminal pemberhentian Bis Malam tujuan Makassar-Palopo. Nah ini yang keren, perjalanan selama delapan jam mulai 22.00, sampai di Palopo pukul 6.00, dengan dua kali berhenti untuk istirahat makan pukul 01.30 pagi dan 05.00 pagi di Masjid menjelang masuk Palopo. Turun dari bis jemputan tersedia, empat sepeda motor mengangkut kami berdua, tas dan 100 eksemplar buku Jang Oetama pesanan kampus Universitas Cokroaminoto Palopo (UNCP). Bila ditilik dari kenikmatan perjalanan, mungkin iya, tetapi bila ditilik dari berapa banyak waktu yang terbuang hanya masalah transportasi, inilah yang menjadi tidak kerennya perjalanan. Perbincangan kami bertiga selama di Palopo dengan Mas Andi Karman dan Mas Zahir, rupanya bisa dijadikan catatan tersendiri berkenaan dengan transportasi dan “mungkin” kurangnya daya dorong kuasa dan politik Palopo daripada Makassar. Masyarakat Palopo menurut rosoku selama berada di sana memang memiliki daya kritis yang mungkin berbeda dengan daerah lain. Mereka memiliki kekuatan analisis atas situasi dan kondisi dan mungkin itu pula mengapa mereka melihat bahwa Palopo adalah “Saudara Tua” dari Makassar. Hambatan kedudukan wilayah tidak masalah ketika di masa lalu sistem transportasi bertumpu pada sistem pelayaran, dan hal itu yang nantinya menjadikan Palopo tempat pendaratan strategis perdagangan dan penyebaran agama Islam pertama di Sulawesi. Masalah muncul ketika sistem transportasi dan kuasa wilayah di masa kemerdekaan, membentuk Makassar menjadi pusat kuasa Sulawesi Selatan, sedangkan wilayah Palopo yang dulunya disebut wilayah Luwu tergeser pada kuasa Makassar. Hal ini mungkin dapat terefleksi pula pada sebutan perjalanan ke Luwu dan sekitarnya sebagai perjalanan “ke bawah”, sedangkan perjalanan ke Makassar disebut “ke atas”.
Sometimes jadwal dan protokoler sesederhana apapun, juga kurang interaksinya antar personal satu dengan lainnya akibat mekanisme cara pandang fungsionalis menyebabkan formalitas dan keluwesan komunikasi terhadang pada perilaku birokrasi maupun kotak-kotak pewilayahan kuasa formalitas. Hal ini mengikis suasana kedekatan batiniah kekeluargaan dan menonjolkan peran dan status sosial yang cenderung formalis. Ganjalan itulah yang kadang mendera setiap perjalananku.
Tetapi juga tak dapat dipungkiri setiap orang punya kesibukannya sendiri, dan aku juga dalam perjalanan kemanapun perlu menyimpan energi. bincang2 dan silaturrahim aku kira juga pasti menyedot energi yang hampir sama. Nah ini ya yang perlu difikirkan bagaimana jalan2 ke titik daerah di negeri yang luas dan jauh jaraknya perlu mapping dan perencanaan lebih rapi, tidak bisa sepertinya ke setiap daerah itu hanya 3 hari dua malam untul menyelami kearifan kemanusiaan.
Kesulitan di negeri ini memang sedang terjadi pergeseran dan evolusi budaya dari community based menjadi society based, dari masyarakat guyub tradisional penuh suasana keakraban sosial menuju modernitas yang tak dapat ditolak kehadirannya sehingga menyebabkan ruang sosial dibatasi oleh pagar birokrasi dan fungsi kerja. Hal ini dapat dilihat dari salah memahami situasi kontekstual misalnya, bagiku dijemput dengan apapun ketika subuh datang dari makassar setelah perjalanan 8 jam ke palopo, tidak masalah, bahkan menyenangkan menggunakan sepeda motor wong ya pagi subuh gitu suasana di palopo masih sepi dan menyejukkan belum terjadi peningkatan polusi transportasi maupun aktivitas lainnya. Tetapi bagi yang memahami situasi tersebut dari cara pandang birokrasi modern, keakraban bisa disalahpahami sebagai ketidakprofesionalan penanganan tamu sesuai standarnya. Bila perlu memang ke depan dirancang minimal 4 hari 3 malam dengan mengagendakan interaksi 1 hari 1 malam bila jarak tempuh jauh dari titik Pertama berangkat. Itupun juga perlu diantisipasi dengan kondisi, seperti mengapa harus tidur di hotel standar yang tentunya berharga standar bila di rumah kawan lama atau di penginapan murah asal bersih, jadi memungkinkan cengkerama lebih intens.
Beberapa hal penting mengapa aku merasa menikmati perjalanan, pada saat-saat mendengarkan sejarah setempat, antusiame dialog baik forum/tempat formal maupun informal, serta keanekaragaman budaya maupun kuliner. Pertama, mengenai sejarah Palopo, terdapat kemiripan lintasan sejarah Islam di berbagai daerah yang sudah aku kunjungi, yang menjadi pondasi kebudayaan Palopo sebagai tempat pertama kali Islam masuk di tengah budaya animisme dinamisme. Nah, yang menenangkan batin adalah antusiasme kawan bila setelah cengkerama mereka merasa jati dirinya bangkit pasca menceritakan kebanggaan Islam, demikian pula kawan-kawan di sini, Palopolah pelopor Islam di Sulawesi, apalagi bukti sejarah tak terhindarkan masjid tertua sulawesi ada di palopo. Belum lagi mereka bercerita kisah perlawanan terhadap belanda. Bukti sejarahnya terjajar mulai dari makam pahlawan, makam belanda, makam cina dan makam umum di sepanjang jalan menuju iain palopo.
Saya merasakan suasana Keislaman yang kuat meresap dalam sistem kebudayaan masyarakat Palopo. Islam bagi mereka ketika kami berinteraksi dengan kawan-kawan sepertinya sangat kuat dan menjadikannya sebagai sistem yang terintegrasi dengan sistem sosial di sana. Mengapa UNCP menjadi kampus terbesar di wilayah Luwu, atau Sulawesi Selatan bagian Utara, untuk tidak menyebut sebagai wilayah “bawah” hehehe… UNCP awalnya adalah Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Cokroaminoto (STIKIP) cabang dari Makassar, berdiri sekitar tahun 1967-1968. Ide pembukaan ini untuk melebarkan interaksi kekuatan Syarikat Islam (SI) di daerah Luwu, karena di sana memang dulu merupakan salah satu daerah basis SI. Akibat perpecahan SI tahun 1972 maka STIKIP sempat vakum sampai sekitar tahun 80-an. Upaya penyelamatan dilakukan oleh tokoh SI yang karena perpecahan merapat ke organisasi lain, yaitu Muhammadiyah. Meski nantinya dari STIKIP berubah menjadi UNCP dan karen upaya mandiri di luar organisasi SI, UNCP menjadi besar kembali, tetapi simbol Cokroaminoto tidak pernah dilepaskan. Masalahnya adalah kemudian simbol Cokroaminoto dan SI tidak lagi terdistribusi sebagai simbol kekuatan atau ruh kesejarahan Islam dengan baik pada civitas akademika. Mungkin dari itu pulalah aku kemudian diminta kampus untuk mengisi ruang kosong “Ke-Cokro-an”. Alhamdulillah. Dari hal di atas jelas sekali kekuatan Islam sebagai pendorong masyarakatnya masih melekat dengan kuat, dan mimpi bahwa Islam harus bangkit sebagai pendorong kekuatan kebudayaan dan sistem sosial di masyarakat Luwu dan sekitarnya sangat dalam terpatri di bawah sadar kemasyarakatannya.
Antusiasme kedua, tentu saja ketika terjadi dialog formal pada saat acara, baik diskusi buku maupun diskusi publik mengenai Jang Oetama. Intensi mulai naik saat tanya jawab, baik yang senang dengan ide pergerakan penyadaran kebangsaan maupun kritik dan penolakan peserta diskusi. Nah yang membesarkan hatiku biasanya setelah selesai acara, mahasiswa, dosen dan peserta umum minta foto bersama, tandatangan buku dan bertanya antusias tentang penasaran yang belum terjawab pada saat diskusi formal. Bukan gegap selfi dan fotonya yang menyenangkan, tetapi semangat maupun binar mata tersadarkan pentingnya bergerak untuk negerilah yang membuat aku makin yakin dan tegar untuk tetap melakukan perjalanan keliling negeri.
Perjalanan kuliner juga menyenangkan di waktu makan siang aku diajak mas Andi Karman, mas Zahir dan Mas Husein menikmati makanan khas yang biasa disebut minuman kapurung, lawa ikan, dan makanan lain yang benar-benar khas setempat. Malamnya dengan Pak Supriadi, hidangan makan lebih berat, makanan ikan laut bakar dan gule kepala ikan. Nah konotasi berat itu karena setiap orang berhadapan dengan satu ikan besar. Lebih berat lagi ketika makan siang keesokan harinya, sabtu, setelah diskusi publik, makan siang dengan pak rektor UNCP, hidangan yang disajikan lebih komplet, semua makanan khas palopo tersedia di meja… Sore sambil menunggu berangkat malam hari menuju makassar, sempat juga diajak menuju daerah dingin palopo, sekitar enam kilo naik ke bukit keluar kota. Di tempat itu sambil minum barasa dan ubi goreng menikmati pemandangan kota palopo dari atas bukit sampai menjelang maghrib, asik juga.
Sungguh pengalaman yang menyenangkan, perjalanan klarifikasi historis sekaligus penyadaran atas pentingnya memiliki sikap kejuangan seperti guru dan tokoh bangsa, ayah dan guru ideologis soekarno, kartosoewirjo, hamka, dan sahabat karib ahmad dahlan, wahab chasbullah, agoes salim, abdoel moeis, soerjopranoto, am sangaji, fachroedin, dan lainnya… Sang Raja Tanpa Mahkota, Jang Oetama HOS Tjokroaminoto, di sebuah perguruan tinggi yang menyematkan nama beliau… Semoga memang ini salah satu jalan kembali dan bangkitnya semangat kebangsaan negeri anak- anak muda…
Salam hormat dan terima kasih tak terhingga untuk sahabat-sahabat di UNCP, Bapak Rektor Dr Suaedi, SPd MSi, Ibu Wakil Rektor 1 Dra Ma’rufi, MPd, Ibu Wakil Rektor 2 Sri Hastuti, SE., MPd, Bapak Supriyadi SAg MPd dan Ibu Risma Sudirman, SE, Ak., MSA., mas Andi karman, SPd MPd, mas Abdul Zahir, SPd MPd., mas Muhammad Husain, SPd., tak lupa mas Sunarwan… Juga tak lupa kawan-kawan pejuang Islam di IAIN Palopo Bapak Rektor Dr. Abdul Pirol MAg, Wakil Rektor 1 Dr. Rustam, Dekan FEBI Ibu Romlah, Kang Amir Faqih, dan juga ibu Fasiha, serta adik-adik HMI MPO Cabang Palopo, di bawah nahkoda Muhammad Jaya, semoga ikhtiar kita bersama akan membuahkan hasil yang berujung barakah tak bertepi…
Comments
No comment yet.